London – Fenomena “Quiet Quitting”—konsep melakukan pekerjaan sesuai deskripsi pekerjaan saja, tanpa ambisi, inisiatif, atau effort ekstra—telah berkembang dari tren media sosial menjadi tantangan serius yang dihadapi oleh perusahaan di seluruh dunia. Tren ini mencerminkan krisis yang lebih dalam dalam keterlibatan karyawan, keseimbangan kehidupan kerja, dan burnout, terutama di era kerja hybrid pasca-pandemi. Data terbaru menunjukkan penurunan signifikan dalam tingkat inisiatif karyawan di berbagai sektor.
Akar masalah Quiet Quitting seringkali adalah perasaan dibayar rendah, tidak dihargai, atau kelelahan kronis. Karyawan yang merasa bahwa usaha ekstra mereka tidak diakui melalui kompensasi atau promosi yang setara akan secara alami mengurangi effort mereka ke tingkat minimum yang diperlukan. Ini adalah mekanisme pertahanan psikologis untuk melindungi diri dari burnout dengan menetapkan batasan yang ketat terhadap pekerjaan.
Bagi perusahaan, dampak dari fenomena ini adalah penurunan tajam dalam inovasi dan produktivitas. Pekerjaan yang memerlukan kolaborasi ekstra, pemecahan masalah kreatif, atau ownership proyek yang mendalam akan mandek atau berjalan lambat. Pemimpin perusahaan kini bergulat dengan cara untuk mengukur dan mengatasi masalah motivasi ini, yang sulit diidentifikasi karena para quiet quitter secara teknis masih memenuhi tugas dasar mereka.
Respons dari manajemen mulai bervariasi. Beberapa perusahaan mencoba meningkatkan keterlibatan melalui kenaikan gaji yang ditargetkan dan program pengakuan yang lebih transparan. Sementara yang lain berinvestasi dalam teknologi pemantauan karyawan yang, ironisnya, seringkali hanya meningkatkan kecurigaan dan semakin merusak kepercayaan. Solusi yang paling efektif, menurut ahli SDM, adalah “Quiet Hiring”—menciptakan jalur karier dan kesempatan upskilling yang jelas di dalam organisasi untuk karyawan yang berkinerja baik.
Inti dari mengatasi Quiet Quitting adalah merekonstruksi kontrak sosial antara karyawan dan perusahaan. Ini bukan hanya tentang berapa jam kerja seseorang, tetapi tentang nilai dan makna dari pekerjaan itu sendiri. Perusahaan yang sukses di masa depan akan menjadi yang mampu menawarkan lebih dari sekadar gaji—mereka harus menawarkan tujuan, fleksibilitas yang nyata, dan lingkungan yang mendukung kesehatan mental untuk menarik kembali effort diskresioner dari tenaga kerja mereka yang berharga.

